Isnin, 28 Mei 2012

salah kee jika ada Shemburuu...?? :/


Siang itu salah seorang istri Rasulullah SAW menghadiahkan semangkok roti dicampur kuah kepada beliau. Rasulullah SAW saat itu sedang di rumah Aisyah ra. Tanpa diduga, Aisyah menepis tangan pembantu yang membawa mangkok berisi roti tersebut, sehingga mangkok itupun jatuh dan pecah.

Melihat kejadian itu, Rasulullah SAW pun bergegas memunguti roti yang tumpah itu dan meletakkan kembali di atas mangkok yang lain seraya berkata: “Pergilah. Ibu kalian sedang cemburu.”

Suasana hati Aisyah mendadak berubah saat melihat istri Rasulullah SAW yang lain menghadiahi beliau semangkok roti kuah. Kaldu yang penuh rasa rindu itu seperti tersayat sembilu. Jiwanya yang penuh dengan cinta terluka. Rasa cemburu memenuhi ruang-ruang jiwa menepikan cinta. Sebagaimana manusia biasa, Aisyah tak kuasa membendungnya. Ia tak mampu menahan rasa cemburu yang mengalir deras menerpa jiwanya.


Cemburu yang mendera jiwa adalah fitrah. Cemburu bisa melanda jiwa semua manusia. Ia tak bisa dihilangkan termasuk oleh wanita mulia sekelas Aisyah sekalipun.

Cemburu biasanya bermula dari cinta yang membara. Bila dikelola dengan baik, cemburu bisa menyebabkan cinta terus menyala. Cemburu membuat kita dapat merasakan indahnya cinta. Karena cemburu adalah tanda cinta. Cinta sejati selalu membuat pemiliknya tak rela belahan jiwanya bergerak ke lain hati. Demikian pula dengan cinta milik wanita. Bahkan wanita senantiasa menginginkan cinta yang utuh. Wanita selalu mengharap cinta yang tanpa sisa.

Hati ibunda Sarah pun pernah didera rasa cemburu. Setelah sekian tahun merajut cinta, nabi Ibrahim as dan ibunda Sarah tak kunjung dikaruniai buah hati. Karena itu ibunda Sarah meminta sang belahan hati untuk melabuhkan cintanya pada jiwa dan raga Hajar, budak setia mereka berdua. Namun saat Hajar melahirkan buah cinta untuk nabi Ibrahim, rasa cemburu menyeruak masuk ke dalam hati ibunda Sarah. Sehingga walau ia yang menghadiahkan Hajar untuk sang suami tercinta, Sarah tak kuasa membendung rasa cemburu yang menerpa jiwanya. Sarah tak rela nabi Ibrahim as berbagi cinta di hadapan jiwanya. Karenanya nabi Ibrahim as kemudian memindahkan Hajar ke Mekkah.


Hati dan jiwa lelaki pun tak suci dari rasa cemburu. Bahkan rasa cemburu adalah ciri cinta milik pria sejati. Lelaki sejati akan senantiasa memendarkan cahaya cinta yang menerangi pelabuhan cintanya hingga tak akan pernah menerima bahtera cinta yang lain. Ia akan selalu menjadi sandaran hati sang istri hingga tidak akan pernah ada sisa cinta untuk laki-laki yang lain. Karenanya rasa cemburu akan segera memenuhi relung-relung hatinya saat ia merasa ada yang mengusik belahan jiwanya.

Rasa cemburu yang menderu itulah yang menyebabkan Umar bin Khatab ra tak berkenan istrinya shalat berjamaah di masjid. Hatinya tak kuasa melihat lelaki lain memandang wanita yang dicintainya itu. Melihat masam sang suami, istri mulia itu pun berkata, “Kalau engkau tak berkenan aku shalat berjamaah di masjid, aku tidak akan melakukannya lagi.” Namun Umar terdiam seribu bahasa karena ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah yang wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah.”


Mengingat rasa cemburu adalah salah satu tabiat kemanusiaan kita, ia tidak akan bisa dihilangkan dari dalam jiwa kita. Kita tak mungkin menghapusnya dari dalam hati kita. Dengan demikian kita harus mengelolanya. Kita harus menjadikan rasa cemburu itu menyebabkan cinta kita kepada belahan jiwa kita terus menyala-nyala. Rasa cemburu itu harus mampu membuat kita merasakan indahnya bercinta dengan kekasih kita. Belahan hati kita harus mengerti bahwa kecemburuan kita padanya adalah bukti cinta sejati kita kepada dirinya.[]

Selasa, 15 Mei 2012

Mencari Cinta Allah...Subhanallah..

Mengapa manusia melakukan kejahatan? Para ulama memberi tiga sebab yang utama – pertama, tidak yakin kepada Allah. Kedua, tidak yakin akan adanya Hari Akhirat dan ketiga, kerana terlalu cinta kepada diri lalu mengambaikan orang lain. Solanya, mengapa orang Islam pun masih melakukan kejahatan?
Ya, kerana kita hanya percaya kepada ketiga-tiga perkara di atas tetapi tidak yakin. Kalau ditanyakan apa bezanya antara percaya dan yakin? Terlalu jauh bezanya. Percaya itu di akal, dimiliki oleh pemikiran dengan belajar. Manakala yakin itu di hati, dimiliki dengan tarbiah dan mujahadah. 

Sebab pertama dan kedua dinamakan Iman – yakin kepada Allah dan Hari Akhirat. Kedua sebab itu menumbuhkan sebab yang ketiga yakni ukhwah atau persaudaraan (kasih sayang). Dengan iman kepada Allah, terbentuklah kasih sayang sesama manusia. Jika ditanya, siapakah manusia yang paling kasih kepada manusia lain? Jawabnya, mudah. Siapa yang paling kasih kepada Allah maka dialah yang paling kasih kepada manusia.

Mengapa begitu? Kerana jika kita ingin mengasihi Allah, Allah letakkan syarat agar kita mengasihi hambaNya. Allah minta manusia yang hendak mengasihiNya menjadi saluran untuk Dia mengasihi hamba-hambaNya yang lain. Kita mesti menjadi saluran Allah untuk menyalurkan ilmu, rezeki, kasih, sayang, keadilanNya kepada manusia.


Jadi, jika kenyataan ini dipandang dari sisi yang lain, kita boleh tegaskan begini: Hanya orang yang hatinya benar-benat yakin kepada Allah sahaja boleh menabur kebaikan dengan seikhlas-ikhlasnya kepada manusia lain. Jika ada manusia yang ingin menaburkan jasa dan kebaikan kepada manusia, tetapi tidak nampak sedikitpun keseriusannya untuk mendekati Allah, maka hubaya-hubaya (berjati-hati), besar kemungkinan dia hanya berpura-pura. Boleh jadi dia memberi untuk mendapat pulangan yang lebih besar lagi!

Betapa ramai manusia yang mendabik dada ingin membuat kebaikan kepada manusia lain tetapi mengabaikan hubungannya dengan Allah. Mungkin sama ramainya dengan manusia yang mendakwa hubungannya sangat akrab dengan Allah tetapi meminggirkan hubungan sesama manusia. Inilah yang telah  menimbulkan golongan manusia yang gila kuasa, cinta kedudukan, dan obsesi ekonomi… kononnya untuk meneruskan legasi jasa kepada orang lain.   
    

Jangan kita lupa ‘yakin kepada Allah’ adalah kunci kepada segala kebaikan dan kejujuran. Dan jangan kita lupa pula ‘cinta kepada dunia’ itu kepala kepada segala kejahatan. Jika Allah dipinggirkan dalam diri, keluarga, masyarakat, pertubuhan, negeri atau sesebuah negara, maka jangan sekali-kali kita percaya dakwaan diri itu, keluarga itu, keluarga, pertubuhan, negeri atau negara itu untuk berjasa kepada manusia!

Seruan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengamalkan syariat dan akhlak Islamiah mesti mendominasi seruan-seruan yang lain. Dasar dakwah Islamiah adalah mengajak orang ramai merdeka daripada penghambaan sesama manusia untuk bebas menghambakan diri kepada Allah. Menyedarkan manusia agar memburu kelapangan Hari Akhirat dengan meninggalkan kesempitan dunia – maksudnya, menggunakan nikmat dunia untuk menadapatkan kenikmatan syurga! Dan akhirnya, meninggalkan kezaliman sistem hidup buatan manusia untuk mendapat naungan keadilan sistem hidup Islam. 


Di mana Allah dalam hati, keluarga, masyarakat dan pertubuhan kita? Itulah satu muhasabah untuk difikirkan jika kita benar-benar jujur untuk menabur bakti kepada manusia. Inilah jalan para rasul, nabi, sahabat-sahabat dan umumnya para salafussoleh yang telah banyak menabur bakti kepada manusia lain. Merekalah individu yang rapat dengan ummah untuk mengetahui apa masalah mereka dan akrab dengan Allah untuk membantu manusia menyelesaikan masalah-masalah itu!

Marilah kita imbau enekdot-enekdot dalam lipatan sejarah untuk mengetahui betapa roh tauhid itulah yang menjadi obor kepada perjuangan mereka untuk menabur bakti kepada manusia lain… Mereka adalah insan yang berbakti kepada manusia lalu dikurniakan kuasa, bukan menjadikan kuasa sebagai syarat untuk menabur jasa. Allah jualah yang memberi kuasa dan menarik kuasa kepada sesiapa yang dikehendakiNya.


Marilah kita renungi sama-sama renungi apa yang pernah saya tuliskan dalam buku: DI MANA DIA DI HATIKU?
Semasa Rasulullah s.a.w dan Sayidina Abu Bakar bersembunyi di gua Thaur, dalam perjalanan untuk hijrah ke Madinah, musuh-musuh Islam sudah berdiri di hadapan pintu gua dan hampir menemui mereka… Ketika Sayidina Abu Bakar cemas, Rasulullah s.a.w menenangkannya dengan berkata, “jangan takut, Allah bersama kita.” Itulah kehebatan Rasulullah, Allah sentiasa di hatinya.
Sewaktu Da’thur seorang tentera musuh menyerang hendap Rasulullah saw lalu meletakkan pedang ke leher nabi Muhammad saw dan bertanya, “siapa akan menyelamatkan kamu daripada ku?”


Rasulullah saw dengan yakin menjawab, “Allah.” Mendengar jawapan itu gementarlah Da’thur  dan pedang pun terlepas daripada tangannya. Itulah kehebatan Rasulullah saw… ada DIA di hati baginda.
Diceritakan bahawa suatu ketika khalifah Umar Al Khattab ingin menguji seorang budak gembala kambing di tengah sebuah padang pasir.
“Boleh kau jualkan kepada ku seekor daripada kambing-kambing yang banyak ini?” tanyanya kepada budak tersebut.
“Maaf tuan, tidak boleh. Kambing ini bukan saya yang punya. Ia milik tuan saya. Saya hanya diamanahkan untuk menjaganya sahaja.”
“Kambing ini terlalu banyak dan tidak ada sesiapa selain aku dan kamu di sini, jika kau jualkan seekor kepada ku dan kau katakan kepada tuan mu bahawa kambing itu telah dimakan oleh serigala, tuan mu tidak akan mengetahuinya,” desak Sayidina Umar lagi sengaja menguji.
“Kalau begitu di mana Allah?” kata budak itu. Sayidina Umar terdiam dan kagum dengan keimanan yang tinggi di dalam hati budak itu. Walaupun hanya seorang gembala kambing yakni pekerja bawahan, tetapi dengan kejujuran dan keimanannya dia punya kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Jelas ada DIA di hatinya.
Satu ketika yang lain, Sayidina Khalid Al Walid diturunkan daripada pangkatnya sebagai seorang jeneral menjadi seorang askar biasa oleh khalifah Umar. Esoknya, Sayidina Khalid ke luar ke medan perang dengan semangat yang sama. Tidak terjejas perasaan dan semangat jihadnya walaupun telah diturunkan pangkat. Ketika ditanya mengapa, Sayidina Khalid menjawab, “aku berjuang bukan kerana Umar.” Ya, Sayidina Khalid berjuang kerana Allah. Ada DIA di hatinya.


Melihat enekdot-enekdot agung itu, aku terkesima lalu bertanya pada diri ku sendiri, di manakah DIA dalam hati ku? Apakah Allah sentiasa menjadi pergantungan harapan dan tempat merujuk dan membujuk hati ku yang rawan? Allah ciptakan manusia hanya dengan satu hati. Di sanalah sewajarnya cinta Allah bersemi. Jika cinta Allah yang bersinar, sirnalah segala cinta yang lain. Tetapi jika sebaliknya cinta selain-Nya yang ada di situ, maka cinta Allah akan terpinggir . Ketika itu tiada DIA di hati ku!
Sering diri ku berbicara sendiri, bersendikan sedikit ilmu dan didikan daripada guru-guru dalam hidup ku, kata mereka (dan aku sangat yakin dengan kata itu), “ bila Allah ada di hati mu, kau seolah-olah memiliki segala-galanya. Itulah kekayaan, ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki. ”
Kata-kata itu sangat menghantui diriku. Ia menyebabkan aku berfikir, merenung dan bermenung, apakah Allah menjadi tumpuan dalam hidup ku? Apakah yang aku fikir, rasa, lakukan dan laksanakan sentiasa merujuk kepada-Nya? Bila bertembung antara kehendak-Nya dengan kehendak ku, kehendak siapa aku dahulukan? Sanggupkah aku menyayangi hanya kerananya? Tegakah aku membenci juga kerananya?
Muhasabah ini melebar lagi… Lalu aku tanyakan pada diri, bagaimana sikapku terhadap hukum-hakam Mu? Sudahkah aku melawan hawa nafsu untuk patuh dan melakukan segala yang wajib sekalipun perit dan sakit ketika melaksanakannya? Sudahkah aku meninggalkan segala yang haram walaupun kelihatan indah dan seronok ketika ingin melakukannya?


Soalan-soalan ini sesungguhnya telah menimbulkan lebih banyak persoalan.  Bukan akal yang menjawabnya, tetapi rasa hati yang amat dalam. Aku tidak dapat mendustai Mu ya Allah. Dan aku juga tidak dapat mendustai diri ku sendiri. Aku teringat bagaimana satu ketika seorang sufi diajukan orang dengan satu soalan, “apakah engkau takutkan Allah?”
Dia menangis dan menjawab, “aku serba salah untuk menjawab ya atau tidak. Jika aku katakan tidak, aku akan menjadi seorang yang kufur. Sebaliknya kalau aku katakan ya, aku terasa menjadi seorang munafik. Sikap ku amat berbeza dengan kata-kata. Orang yang takutkan Allah bergetar hatinya bila mendengar ayat-ayat Allah tetapi aku tidak…” Maksudnya, sufi itu sendiri tidak dapat menjawab apakah ada DIA di hatinya…
Jika seorang sufi yang hatinya begitu hampir dengan Allah pun sukar bila ditanyakan apakah ada dia di hatinya, lebih-lebih aku yang hina dan berdosa ini. Di hati ku masih ada dua cinta yang bergolak dan berbolak-balik. Antara cinta Allah dan cinta dunia sedang berperang dengan begitu hebat dan dahsyat sekali.


Kalau kau tanyakan aku, “adakah DIA di hati mu?”, aku hanya mampu menjawab, “aku seorang insan yang sedang bermujahadah agar ada DIA di hati ku. Aku belum sampai ke tahap mencintai-Nya tetapi aku yakin aku telah memulakan langkah untuk mencintai-Nya…”
Justeru belum ada DIA di hati ku, hidup ku belum bahagia, belum tenang dan belum sejahtera. Aku akan terus mencari dengan langkah mujahadah ini. Aku yakin Allah itu dekat, pintu keampunan-Nya lebih luas daripada pintu kemurkaan-Nya. Selangkah aku mendekat, seribu langkah DIA merapat. Begitu seperti yang selalu ku dengar daripada sebuah hadis Qudsi yang panjang.
Dan akhirnya aku tiba pada satu keyakinan, di mana DIA di hati ku bukan menagih satu jawapan… tetapi satu perjuangan dan pengorbanan. Insya-Allah, aku yakin pada suatu masa nanti akan ada DIA di hatiku dan di hatimu jua! Insya-Allah. Amin.